Senin, 13 Oktober 2014

Cerpen Kritik Sosial, Inspirasi Indonesia

Usia Tua Indonesia

Matahari mulai bersembunyi dibalik peraduannya, saatkupun untuk pulang. Kuberjalan dengan penghasilan minim, dan ukulele yang semakin rapuh ini. Rina, yang kugendong semakin berat rasanya. Entah kemana kumenuju, untuk membangun rumah yang kesekian kali. Trotoar pinggir toko kupilih sudah. Kuletakkan 3 lembar koran basah karena hujan semalam, dan berbaring di atasnya. Menyudahi hari ini, ditengah bisingnya kendaraan lalu lalang.
Pagi buta aku terbangun, oleh suara gerbang toko yang siap berdagang. Waktunya bekerja, tepatnya meminta-minta. Menyongsong datangnya hari jadi negara, pendapatanku sedikit bertambah. Tapi apa daya? Pendapatan seminggu hanya cukup untuk makan 3 hari? Cukup banyak orang yang merasa iba, namun rasa itu tidak terbayarkan oleh uang yang mereka beri. Cukup banyak orang yang menyuruhku bekerja, tapi siapa orang yang mau menerima pengemis dekil sepertiku? Bahkan pengemis lainnya menghindar dariku karena bau badanku.
Dengan kaos rompang ramping, celana pendek kusam dan tanpa alas kaki kuberjalan menyusuri kota metropolitan ini. Ya, asap kendaraan makanan kami tiap hari. Sesekali kupetik perlahan ukulele tua ini, sambil menyodorkan kaleng penyok kepada para pengguna jalan. Koin mulai berjatuhan tanda belas kasihan.
Beberapa jam, perutku mulai berontak. Rasa hauspun sepadan dengan teriknya sang surya. Peluh menggerojok tubuhku tanpa henti. Rinapun takberhenti rewel. Kupandang toko padang di seberang. Semakin kupandang, perut ini semakin berontak. Seakan tau apa yang kulihat. Kutahan beberapa menit, namun sungguh ku tak kuat. Ku menyebrang dan masuk ke toko itu, menyodorkan kaleng untuk mengalihkan perhatian si pemilik toko. Saat pemilik toko berusaha mencari koin untuk diberikannya kepadaku, ku menyaut 2 buah ayam  yang dipajang di kaca toko. Rupanya Ia menyadairi hal itu dan berteriak “PENCURII!” Beberapa orang menoleh kearahku dan mencoba mengejarku, namun aku melesat secepat kilat. Kenyang sudah perut kami.
Hari-hari seperti biasanya berjalan. Dua hari sudah kami tak makan. Hanya hidup dari air keran-keran jalanan. Rina yang takpernah lepas dari pelukanku semakin dan semakin berontak. Entah apa yang terjadi padanya, tapi tak biasanya hal seperti ini terjadi. Kuberi asi, tapi tangisnya tak kunjung reda. Sesuatu telah menimpa anakku. Badannya panas memerah. Timbul bercak-bercak pada sekujur tubuhnya. Akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Kuberjalan seperti biasanya menyusuri jalan raya, tapi tidak untuk bekerja. Dua kilometer sudah kuberjalan. Kuberdiri di depan gerbang rumah sakit dengan penuh harapan. Kuberjalan perlahan menaikki anak tangga, namun seorang satpam menyegatku. Ia tidak memperbolehkanku masuk. Ia mendorong tulang-tulang kecilku keluar rumah sakit.
Tanpa arah kuterpaksa berjalan lagi. Semakin jauh, semakin Rina merengek. Air mataku menetes deras. Mengapa masalah terus mengguyur hidupku? Tiba-tiba hujan berjatuhan. Badanku yang semakin lemas ini menggigil kedinginan. Kututup tubuh Rina dengan selendang, namun air tetap masuk. Kakiku yang kian berat ini sudah takkuat. Kami berhenti di emperan resto panggang yang ramai dikunjungi. Namun hal yang sama menimpa kami. Satpam setempat menusir kami seakan taksedikitpun rasa iba di hatinya.
Sudah tengah malam kumasih mencari tempat yang tepat untuk ditinggali. Akhirnya kumenemukan tempat hangat yang cocok untuk Rina. Kolong kursi stasiun kota.
Tak ada yang melihat kami, akhirnya kuputuskan untuk beristirahat disana. Di dekat tong sampah raksasa yang baunya hampir sama dengan bau tubuhku.
Hari selanjutnya, tepat hari jadi negara. Berbagai hiasan nuansa merah putih menghiasi kota. Hari ini kubertekat untuk kembali mencari tempat berobat untuk Rina. Tak ada uang masuk sekalipun, tak ada makan, asalkan Rina kembali pulih.
Akhirnya setelah berjalan 3 jam lamanya kumenemukan puskesmas. Dengan segera kumasuk dan mendapati seorang wanita berjubah suster berpakaian rapi dan bersepatu. Ia menanyakan keperluanku datang kemari. Belum sempat menjawab wanita lain datang dari arah yang sama berkata “maaf hari ini dokter sedang libur.” Lupuh sudah harapanku.
Kuberjalan lagi dan lagi, telapak kaki ini seperti dibakar rasanya. Rina yang merengek tiba-tiba membisu. Matanya menutup tak berdaya. “Rinnaa?!..Rinaa?..” Ia sudah tak bernyawa. Spontan kuberlutut di tengah teriknya matahari. Air mata ini sudah takkuat dan keluar dari kantongnya. Sekarang kusendiri.
 Kumelihat anak-anak seusai upacara berlarian memegang bendera. Tersungging senyuman di wajah mereka. Seperti yang kuimpikan dahulu, menyekolahkan Rina. Namun impian itu sudah tak ada lagi. Semua hancur.


Jadi inikah nasibku si pengemis? Yang ditimpa masalah tanpa henti? Seperti anjing yang dibuang ke jalanan.. Yang tidak dihargai, tidak dianggap.
Indonesia? Akankah ada perubahan? Diusia tuamu ini?

by: Antonieta W.D

0 komentar:

Posting Komentar