Matahari mulai
bersembunyi dibalik peraduannya, saatkupun untuk pulang. Kuberjalan dengan
penghasilan minim, dan ukulele yang semakin rapuh ini. Rina, yang kugendong
semakin berat rasanya. Entah kemana kumenuju, untuk membangun rumah yang
kesekian kali. Trotoar pinggir toko kupilih sudah. Kuletakkan 3 lembar koran
basah karena hujan semalam, dan berbaring di atasnya. Menyudahi hari ini,
ditengah bisingnya kendaraan lalu lalang.
Pagi buta aku
terbangun, oleh suara gerbang toko yang siap berdagang. Waktunya bekerja,
tepatnya meminta-minta. Menyongsong datangnya hari jadi negara, pendapatanku
sedikit bertambah. Tapi apa daya? Pendapatan seminggu hanya cukup untuk makan 3
hari? Cukup banyak orang yang merasa iba, namun rasa itu tidak terbayarkan oleh
uang yang mereka beri. Cukup banyak orang yang menyuruhku bekerja, tapi siapa
orang yang mau menerima pengemis dekil sepertiku? Bahkan pengemis lainnya
menghindar dariku karena bau badanku.
Dengan kaos rompang
ramping, celana pendek kusam dan tanpa alas kaki kuberjalan menyusuri kota
metropolitan ini. Ya, asap kendaraan makanan kami tiap hari. Sesekali kupetik
perlahan ukulele tua ini, sambil menyodorkan kaleng penyok kepada para pengguna
jalan. Koin mulai berjatuhan tanda belas kasihan.
Beberapa jam,
perutku mulai berontak. Rasa hauspun sepadan dengan teriknya sang surya. Peluh
menggerojok tubuhku tanpa henti. Rinapun takberhenti rewel. Kupandang toko
padang di seberang. Semakin kupandang, perut ini semakin berontak. Seakan tau
apa yang kulihat. Kutahan beberapa menit, namun sungguh ku tak kuat. Ku
menyebrang dan masuk ke toko itu, menyodorkan kaleng untuk mengalihkan perhatian
si pemilik toko. Saat pemilik toko berusaha mencari koin untuk diberikannya
kepadaku, ku menyaut 2 buah ayam yang
dipajang di kaca toko. Rupanya Ia menyadairi hal itu dan berteriak “PENCURII!”
Beberapa orang menoleh kearahku dan mencoba mengejarku, namun aku melesat
secepat kilat. Kenyang sudah perut kami.
Hari-hari
seperti biasanya berjalan. Dua hari sudah kami tak makan. Hanya hidup dari air
keran-keran jalanan. Rina yang takpernah lepas dari pelukanku semakin dan
semakin berontak. Entah apa yang terjadi padanya, tapi tak biasanya hal seperti
ini terjadi. Kuberi asi, tapi tangisnya tak kunjung reda. Sesuatu telah menimpa
anakku. Badannya panas memerah. Timbul bercak-bercak pada sekujur tubuhnya.
Akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Kuberjalan seperti
biasanya menyusuri jalan raya, tapi tidak untuk bekerja. Dua kilometer sudah
kuberjalan. Kuberdiri di depan gerbang rumah sakit dengan penuh harapan.
Kuberjalan perlahan menaikki anak tangga, namun seorang satpam menyegatku. Ia
tidak memperbolehkanku masuk. Ia mendorong tulang-tulang kecilku keluar rumah
sakit.
Tanpa arah
kuterpaksa berjalan lagi. Semakin jauh, semakin Rina merengek. Air mataku
menetes deras. Mengapa masalah terus mengguyur hidupku? Tiba-tiba hujan
berjatuhan. Badanku yang semakin lemas ini menggigil kedinginan. Kututup tubuh
Rina dengan selendang, namun air tetap masuk. Kakiku yang kian berat ini sudah
takkuat. Kami berhenti di emperan resto panggang yang ramai dikunjungi. Namun
hal yang sama menimpa kami. Satpam setempat menusir kami seakan taksedikitpun
rasa iba di hatinya.
Sudah tengah
malam kumasih mencari tempat yang tepat untuk ditinggali. Akhirnya kumenemukan
tempat hangat yang cocok untuk Rina. Kolong kursi stasiun kota.
Tak ada yang
melihat kami, akhirnya kuputuskan untuk beristirahat disana. Di dekat tong
sampah raksasa yang baunya hampir sama dengan bau tubuhku.
Hari
selanjutnya, tepat hari jadi negara. Berbagai hiasan nuansa merah putih
menghiasi kota. Hari ini kubertekat untuk kembali mencari tempat berobat untuk
Rina. Tak ada uang masuk sekalipun, tak ada makan, asalkan Rina kembali pulih.
Akhirnya setelah
berjalan 3 jam lamanya kumenemukan puskesmas. Dengan segera kumasuk dan
mendapati seorang wanita berjubah suster berpakaian rapi dan bersepatu. Ia
menanyakan keperluanku datang kemari. Belum sempat menjawab wanita lain datang
dari arah yang sama berkata “maaf hari ini dokter sedang libur.” Lupuh sudah
harapanku.
Kuberjalan lagi
dan lagi, telapak kaki ini seperti dibakar rasanya. Rina yang merengek
tiba-tiba membisu. Matanya menutup tak berdaya. “Rinnaa?!..Rinaa?..” Ia sudah
tak bernyawa. Spontan kuberlutut di tengah teriknya matahari. Air mata ini
sudah takkuat dan keluar dari kantongnya. Sekarang kusendiri.
Kumelihat anak-anak seusai upacara berlarian
memegang bendera. Tersungging senyuman di wajah mereka. Seperti yang kuimpikan
dahulu, menyekolahkan Rina. Namun impian itu sudah tak ada lagi. Semua hancur.
Jadi inikah
nasibku si pengemis? Yang ditimpa masalah tanpa henti? Seperti anjing yang
dibuang ke jalanan.. Yang tidak dihargai, tidak dianggap.
Indonesia?
Akankah ada perubahan? Diusia tuamu ini?
by: Antonieta W.D
0 komentar:
Posting Komentar