Usia Tua Indonesia
by: Antonieta W.D
OEI HUI LAN, Akankan?
Matahari mulai
bersembunyi dibalik peraduannya, saatkupun untuk pulang. Kuberjalan dengan
penghasilan minim, dan ukulele yang semakin rapuh ini. Rina, yang kugendong
semakin berat rasanya. Entah kemana kumenuju, untuk membangun rumah yang
kesekian kali. Trotoar pinggir toko kupilih sudah. Kuletakkan 3 lembar koran
basah karena hujan semalam, dan berbaring di atasnya. Menyudahi hari ini,
ditengah bisingnya kendaraan lalu lalang.
Pagi buta aku
terbangun, oleh suara gerbang toko yang siap berdagang. Waktunya bekerja,
tepatnya meminta-minta. Menyongsong datangnya hari jadi negara, pendapatanku
sedikit bertambah. Tapi apa daya? Pendapatan seminggu hanya cukup untuk makan 3
hari? Cukup banyak orang yang merasa iba, namun rasa itu tidak terbayarkan oleh
uang yang mereka beri. Cukup banyak orang yang menyuruhku bekerja, tapi siapa
orang yang mau menerima pengemis dekil sepertiku? Bahkan pengemis lainnya
menghindar dariku karena bau badanku.
Dengan kaos rompang
ramping, celana pendek kusam dan tanpa alas kaki kuberjalan menyusuri kota
metropolitan ini. Ya, asap kendaraan makanan kami tiap hari. Sesekali kupetik
perlahan ukulele tua ini, sambil menyodorkan kaleng penyok kepada para pengguna
jalan. Koin mulai berjatuhan tanda belas kasihan.
Beberapa jam,
perutku mulai berontak. Rasa hauspun sepadan dengan teriknya sang surya. Peluh
menggerojok tubuhku tanpa henti. Rinapun takberhenti rewel. Kupandang toko
padang di seberang. Semakin kupandang, perut ini semakin berontak. Seakan tau
apa yang kulihat. Kutahan beberapa menit, namun sungguh ku tak kuat. Ku
menyebrang dan masuk ke toko itu, menyodorkan kaleng untuk mengalihkan perhatian
si pemilik toko. Saat pemilik toko berusaha mencari koin untuk diberikannya
kepadaku, ku menyaut 2 buah ayam yang
dipajang di kaca toko. Rupanya Ia menyadairi hal itu dan berteriak “PENCURII!”
Beberapa orang menoleh kearahku dan mencoba mengejarku, namun aku melesat
secepat kilat. Kenyang sudah perut kami.
Hari-hari
seperti biasanya berjalan. Dua hari sudah kami tak makan. Hanya hidup dari air
keran-keran jalanan. Rina yang takpernah lepas dari pelukanku semakin dan
semakin berontak. Entah apa yang terjadi padanya, tapi tak biasanya hal seperti
ini terjadi. Kuberi asi, tapi tangisnya tak kunjung reda. Sesuatu telah menimpa
anakku. Badannya panas memerah. Timbul bercak-bercak pada sekujur tubuhnya.
Akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Kuberjalan seperti
biasanya menyusuri jalan raya, tapi tidak untuk bekerja. Dua kilometer sudah
kuberjalan. Kuberdiri di depan gerbang rumah sakit dengan penuh harapan.
Kuberjalan perlahan menaikki anak tangga, namun seorang satpam menyegatku. Ia
tidak memperbolehkanku masuk. Ia mendorong tulang-tulang kecilku keluar rumah
sakit.
Tanpa arah
kuterpaksa berjalan lagi. Semakin jauh, semakin Rina merengek. Air mataku
menetes deras. Mengapa masalah terus mengguyur hidupku? Tiba-tiba hujan
berjatuhan. Badanku yang semakin lemas ini menggigil kedinginan. Kututup tubuh
Rina dengan selendang, namun air tetap masuk. Kakiku yang kian berat ini sudah
takkuat. Kami berhenti di emperan resto panggang yang ramai dikunjungi. Namun
hal yang sama menimpa kami. Satpam setempat menusir kami seakan taksedikitpun
rasa iba di hatinya.
Sudah tengah
malam kumasih mencari tempat yang tepat untuk ditinggali. Akhirnya kumenemukan
tempat hangat yang cocok untuk Rina. Kolong kursi stasiun kota.
Tak ada yang
melihat kami, akhirnya kuputuskan untuk beristirahat disana. Di dekat tong
sampah raksasa yang baunya hampir sama dengan bau tubuhku.
Hari
selanjutnya, tepat hari jadi negara. Berbagai hiasan nuansa merah putih
menghiasi kota. Hari ini kubertekat untuk kembali mencari tempat berobat untuk
Rina. Tak ada uang masuk sekalipun, tak ada makan, asalkan Rina kembali pulih.
Akhirnya setelah
berjalan 3 jam lamanya kumenemukan puskesmas. Dengan segera kumasuk dan
mendapati seorang wanita berjubah suster berpakaian rapi dan bersepatu. Ia
menanyakan keperluanku datang kemari. Belum sempat menjawab wanita lain datang
dari arah yang sama berkata “maaf hari ini dokter sedang libur.” Lupuh sudah
harapanku.
Kuberjalan lagi
dan lagi, telapak kaki ini seperti dibakar rasanya. Rina yang merengek
tiba-tiba membisu. Matanya menutup tak berdaya. “Rinnaa?!..Rinaa?..” Ia sudah
tak bernyawa. Spontan kuberlutut di tengah teriknya matahari. Air mata ini
sudah takkuat dan keluar dari kantongnya. Sekarang kusendiri.
Kumelihat anak-anak seusai upacara berlarian
memegang bendera. Tersungging senyuman di wajah mereka. Seperti yang kuimpikan
dahulu, menyekolahkan Rina. Namun impian itu sudah tak ada lagi. Semua hancur.
Jadi inikah
nasibku si pengemis? Yang ditimpa masalah tanpa henti? Seperti anjing yang
dibuang ke jalanan.. Yang tidak dihargai, tidak dianggap.
Indonesia?
Akankah ada perubahan? Diusia tuamu ini?
by: Antonieta W.D
OEI HUI LAN, Akankan?
Stephany Susanto, itulah aku. Aku lahir dari pasangan
Chinese-Indo di kota metropolitan, Jakarta. Papa, Fery Susanto adalah mantan
anggota DSI (Detektif Swasta Indonesia). Sedangkan mama, Clarissa Tan
berprofesi sebagai direktur sekaligus dokter Opstetri Ginokologi di Siloam
Hospital, yang dipindahkan ke Bali 3 tahun lalu untuk membantu korban pada bom
bali, 2005. Benar, sekarang kami menetap di Pulau Dewata ini. Hidup di Pulau
kecil yang dikelilingi wisata air, terhindar dari macet, dan super bersih.
Sungguh pulau impian!
Di rumah, aku lebih
sering menghabiskan waktu dengan papa, yang sudah 3 tahun menjadi “bapak rumah
tangga”. Tidak seperti anak lainnya, aku justru jarang bertemu mama karena
pekerjaan yang menyita waktunya.
Malam itu kukenakan daster baliku. Kuberjalan menaiki anak
tangga beralaskan sandal tidur dengan terkantuk-kantuk. Sangking ngantuknya,
tak sengaja kumenyampar rak buku milik papa hingga buku-buku berjatuhan. Yahh..
dengan terpaksa kuharus menatanya lagi. “Tunggu,” kataku dalam hati. Mataku
tertuju pada tumpukan kertas kusam kuno yang ternyata bekas penelitian papa
saat masih menjadi anggota DSI. “Oei Hui Lan,”judulnya. Dasar alasan ingin
tahu, kubawa kertas-kertas itu ke kamar setelah mencangking secangkir kopi
buatanku. Kubaca perlahan, bertindak layaknya detektif professional. Sekilas
kumelihat tanggal yang tertulis di pojok kanan atas kertas “3 Oktober 2005,
tepat 3 hari setelah bom bali ke 2 dijatuhkan, dan hari yang sama ketika
keluarga kami pindah ke Bali,” gumamku . “Jadi, ini adalah tugas penyelidikan
terakir papa? Tapi, kenapa dibiarkan tergeletak begitu saja? Setahuku papa
menyimpan semua file penyelidikannya di kantor pribadinya,” lanjutku. Rasa
ingin tauku memuncak, terutama setelah melihat gambar sesosok wanita cantik berambut
panjang di depan cermin yang tertempel pada lembar kedua kertas tersebut. Kunyalakan
komputerku, dan mengetik “Oei Hui Lan.” Kursor berkedip lama sembari ku membaca
riwayat wanita misterius itu. Rupanya Ia cukup terkenal di Indonesia, Ia adalah
puteri dari Oei Tiong Ham, yang merupakan orang terkaya di Indonesia. Dan
kisahnya meninggalkan misteri. Bahkan sampai lukisannya. “Hhm.. Rupanya itu
yang sedang dicari tahu papa..”
Penelitian sederhanaku terhenti karena mataku mulai berontak.
Tak sadar kutertidur di meja belajarku. Tiba-tiba kumendengar pintu kamarku
menderit terbuka. Hendak memastikan, kulihat papa dengan kacamatanya dan pena
yang tersangkut di daun telinganya. “Papa?,” kataku. “Ini dia!,” sambil menyaut
seberkas kertas miliknya dari meja belajarku. “Apa yang kaulakukan dengan
berkas penelitian papa?” katanya dengan nada meningkat. “Aku hanya ingin
mencari tau, seperti papa,” jelasku. Spontan Ia memeluk putri satu-satunya ini.
“Dengar, ini tugas yang rumit sayang,” “Tapi aku ingin membantu, Aku tak ingin
menikmati liburan ini hanya dengan TV dan game. Aku ingin sesuatu yang lebih
menantang,” selaku. “Tapi,,” belum menyelesaikan kalimatnya, aku menyela untuk
kedua kali. “Papa, aku mohon. Aku takkan merepotkanmu. Lagipula, papa sudah
tidak bekerja, aku ingin kita menyelesaikan kasus ini bersama,” jelasku sok
bijak. Menyetujui renggekanku, papa menyuruhku untuk tidur. “Baik, kita akan
mulai besok.’’
Pagi itu kubangun pagi-pagi, menagih janji papa. Betapa
semangatnya aku ketika papa sudah menyiapkan 2 buah carrier 6o liter yang sudah
terisi penuh. “Sudah siap?,” kata papa sembari menaikkan alisnya. “Tentu!,”
teriakku. Mama? Kebetulan mama sedang lembur untuk seminggu kedepan. Jadi kami
punya waktu banyak untuk melakukan penyelidikan pertamaku. Hari itu kami
terbang ke malang, kota yang tak pernah kukunjungi. Ya, kami mencari sebuah
lukisan Oei Hui Lan yang meninggalkan misteri tersebut. Kabarnya, lukisan itu
terletak di sebuah hotel di jantung kota. Sambil membaca peta, kukenakan
kacamata hitamku layaknya backpacker-backpacker biasanya. “Ini hotelnya!,” kata
papa di depan gerbang putih bertuliskan “Hotel Tugu”. Kami masuk dan menyewa 1
kamar untuk menutupi misi rahasia kami. Dan benar, lukisan itu ada disana. Bulukudukku
spontan berdiri. Sekilas kumenatap lukisan itu, namun ada sesuatu yang beda.
Sesuatu yang takdapat kujelaskan. “Ayo kita istirahat dulu,” bisik papa di
telinga kananku.
Malam itu kami bertindak. Aku memancing petugas lobby hotel yang
tepat di depan lukisan itu. Aku memintanya mengantarku kemana-mana. Ya,
meskipun nilai teaterku 7, tapi kuberhasil membujuk petugas itu mengantarku
berjalan-jalan. Sedangkan papa focus pada penyelidikan lukisan itu. Setengah
jam kemudian kami bertemu di kamar. “Itu bukan lukisan yang asli,” kata papa
murung. “Lalu dimana lukisan yang asli?”
Terpaksa kami bernjak dari hotel itu. Dalam berkas
penelitian papa, lukisan asli tidak diketahui pelukisnya. “Berarti, ada yang
melukis ulang, pa?” “Benar, dalam lukisan yang asli, terdapat inisial pelukis
yang sampai sekarang belum diketahui. Dan pelukis itu mempunyai kode tempat
disimpannya semua harta Oei Hui Lan setelah kemeninggalannya. Semua orang
berebut lukisan itu,” jelasnya. Kami
melanjutkan perjalanan ke Museum Tempoe Doeloe untuk mencari tau lebih lanjut.
Menurut ahli-ahli setempat, lukisan itu pernah dicuri tepat saat pendudukan
Belanda di Indonesia. Lukisan itu dibawa oleh salah satu dari mereka untuk
diperdagangkan di negerinya. Dan gosipnya, kapal yang membawa lukisan itu karam
di Pulau Rinca, NTT, dan tak ada seorangpun yang berani menyelidikinya. “Yeah,
petunjuk sudah kami dapatkan.” Hari itu juga kami terbang ke NTT. Pulau yang
dianggap masih perawan itu tampak sepi. Hanya ada beberapa kapal nelayan.Karena
tidak ada fasilitas kapal selam seperti di Bali, Papa memanfaatkan salah satu
nelayan dan memintanya mengantar kami ke tengah laut. Meskipun awalnya ragu,
namun akhirnya Ia menyetujui dengan beberapa lembar uang. Sesampai di batas
laut, aku dan papa memakai perlengkapan diving dan turun menyelam. Ya, ini
adalah pertama kali bagiku menyelam di laut bebas. Semakin dalam, kami berhasil
menemukan sebuah kapal kuno ukuran
sedang yang sudah setengah tertimbun. Papa masuk dan menyuruhku menunggu di
luar. 15 menit kumenunggu gelisah. Kuputuskan untuk mengikuti papa masuk.
Tiba-tiba sesuatu melesat di depanku. Ya.. sesosok wanita itu..Wanita di
lukisan itu. Oei Hui Lan.
Hal terakir yang sempat kuliahat adalah jam tanganku
menunjukkan pukul 11:29 sebelum wanita itu melilitkan rambutnya di mulutku.
Sesaat kuterperanjat bangun, menyampluk secangkir kopi di meja belajarku,
merasa lega bahwa itu hanya mimpi. Namun sesaat kumenengok jam alarmku yang
menunjukkan pukul 11:28, seketika pintu kamarku menderit terbuka. Papa?,”
kataku. “Ini dia!,” sambil menyaut seberkas kertas miliknya dari meja
belajarku. “Apa yang kaulakukan dengan berkas penelitian papa?”
“Hahh? Akankan petualangan itu terjadi?..”
0 komentar:
Posting Komentar