mini story

Usia Tua Indonesia

Matahari mulai bersembunyi dibalik peraduannya, saatkupun untuk pulang. Kuberjalan dengan penghasilan minim, dan ukulele yang semakin rapuh ini. Rina, yang kugendong semakin berat rasanya. Entah kemana kumenuju, untuk membangun rumah yang kesekian kali. Trotoar pinggir toko kupilih sudah. Kuletakkan 3 lembar koran basah karena hujan semalam, dan berbaring di atasnya. Menyudahi hari ini, ditengah bisingnya kendaraan lalu lalang.
Pagi buta aku terbangun, oleh suara gerbang toko yang siap berdagang. Waktunya bekerja, tepatnya meminta-minta. Menyongsong datangnya hari jadi negara, pendapatanku sedikit bertambah. Tapi apa daya? Pendapatan seminggu hanya cukup untuk makan 3 hari? Cukup banyak orang yang merasa iba, namun rasa itu tidak terbayarkan oleh uang yang mereka beri. Cukup banyak orang yang menyuruhku bekerja, tapi siapa orang yang mau menerima pengemis dekil sepertiku? Bahkan pengemis lainnya menghindar dariku karena bau badanku.
Dengan kaos rompang ramping, celana pendek kusam dan tanpa alas kaki kuberjalan menyusuri kota metropolitan ini. Ya, asap kendaraan makanan kami tiap hari. Sesekali kupetik perlahan ukulele tua ini, sambil menyodorkan kaleng penyok kepada para pengguna jalan. Koin mulai berjatuhan tanda belas kasihan.
Beberapa jam, perutku mulai berontak. Rasa hauspun sepadan dengan teriknya sang surya. Peluh menggerojok tubuhku tanpa henti. Rinapun takberhenti rewel. Kupandang toko padang di seberang. Semakin kupandang, perut ini semakin berontak. Seakan tau apa yang kulihat. Kutahan beberapa menit, namun sungguh ku tak kuat. Ku menyebrang dan masuk ke toko itu, menyodorkan kaleng untuk mengalihkan perhatian si pemilik toko. Saat pemilik toko berusaha mencari koin untuk diberikannya kepadaku, ku menyaut 2 buah ayam  yang dipajang di kaca toko. Rupanya Ia menyadairi hal itu dan berteriak “PENCURII!” Beberapa orang menoleh kearahku dan mencoba mengejarku, namun aku melesat secepat kilat. Kenyang sudah perut kami.
Hari-hari seperti biasanya berjalan. Dua hari sudah kami tak makan. Hanya hidup dari air keran-keran jalanan. Rina yang takpernah lepas dari pelukanku semakin dan semakin berontak. Entah apa yang terjadi padanya, tapi tak biasanya hal seperti ini terjadi. Kuberi asi, tapi tangisnya tak kunjung reda. Sesuatu telah menimpa anakku. Badannya panas memerah. Timbul bercak-bercak pada sekujur tubuhnya. Akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Kuberjalan seperti biasanya menyusuri jalan raya, tapi tidak untuk bekerja. Dua kilometer sudah kuberjalan. Kuberdiri di depan gerbang rumah sakit dengan penuh harapan. Kuberjalan perlahan menaikki anak tangga, namun seorang satpam menyegatku. Ia tidak memperbolehkanku masuk. Ia mendorong tulang-tulang kecilku keluar rumah sakit.
Tanpa arah kuterpaksa berjalan lagi. Semakin jauh, semakin Rina merengek. Air mataku menetes deras. Mengapa masalah terus mengguyur hidupku? Tiba-tiba hujan berjatuhan. Badanku yang semakin lemas ini menggigil kedinginan. Kututup tubuh Rina dengan selendang, namun air tetap masuk. Kakiku yang kian berat ini sudah takkuat. Kami berhenti di emperan resto panggang yang ramai dikunjungi. Namun hal yang sama menimpa kami. Satpam setempat menusir kami seakan taksedikitpun rasa iba di hatinya.
Sudah tengah malam kumasih mencari tempat yang tepat untuk ditinggali. Akhirnya kumenemukan tempat hangat yang cocok untuk Rina. Kolong kursi stasiun kota.
Tak ada yang melihat kami, akhirnya kuputuskan untuk beristirahat disana. Di dekat tong sampah raksasa yang baunya hampir sama dengan bau tubuhku.
Hari selanjutnya, tepat hari jadi negara. Berbagai hiasan nuansa merah putih menghiasi kota. Hari ini kubertekat untuk kembali mencari tempat berobat untuk Rina. Tak ada uang masuk sekalipun, tak ada makan, asalkan Rina kembali pulih.
Akhirnya setelah berjalan 3 jam lamanya kumenemukan puskesmas. Dengan segera kumasuk dan mendapati seorang wanita berjubah suster berpakaian rapi dan bersepatu. Ia menanyakan keperluanku datang kemari. Belum sempat menjawab wanita lain datang dari arah yang sama berkata “maaf hari ini dokter sedang libur.” Lupuh sudah harapanku.
Kuberjalan lagi dan lagi, telapak kaki ini seperti dibakar rasanya. Rina yang merengek tiba-tiba membisu. Matanya menutup tak berdaya. “Rinnaa?!..Rinaa?..” Ia sudah tak bernyawa. Spontan kuberlutut di tengah teriknya matahari. Air mata ini sudah takkuat dan keluar dari kantongnya. Sekarang kusendiri.
 Kumelihat anak-anak seusai upacara berlarian memegang bendera. Tersungging senyuman di wajah mereka. Seperti yang kuimpikan dahulu, menyekolahkan Rina. Namun impian itu sudah tak ada lagi. Semua hancur.


Jadi inikah nasibku si pengemis? Yang ditimpa masalah tanpa henti? Seperti anjing yang dibuang ke jalanan.. Yang tidak dihargai, tidak dianggap.
Indonesia? Akankah ada perubahan? Diusia tuamu ini?

by: Antonieta W.D






 OEI HUI LAN, Akankan?



Stephany Susanto, itulah aku. Aku lahir dari pasangan Chinese-Indo di kota metropolitan, Jakarta. Papa, Fery Susanto adalah mantan anggota DSI (Detektif Swasta Indonesia). Sedangkan mama, Clarissa Tan berprofesi sebagai direktur sekaligus dokter Opstetri Ginokologi di Siloam Hospital, yang dipindahkan ke Bali 3 tahun lalu untuk membantu korban pada bom bali, 2005. Benar, sekarang kami menetap di Pulau Dewata ini. Hidup di Pulau kecil yang dikelilingi wisata air, terhindar dari macet, dan super bersih. Sungguh pulau impian! 

 Di rumah, aku lebih sering menghabiskan waktu dengan papa, yang sudah 3 tahun menjadi “bapak rumah tangga”. Tidak seperti anak lainnya, aku justru jarang bertemu mama karena pekerjaan yang menyita waktunya.


Malam itu kukenakan daster baliku. Kuberjalan menaiki anak tangga beralaskan sandal tidur dengan terkantuk-kantuk. Sangking ngantuknya, tak sengaja kumenyampar rak buku milik papa hingga buku-buku berjatuhan. Yahh.. dengan terpaksa kuharus menatanya lagi. “Tunggu,” kataku dalam hati. Mataku tertuju pada tumpukan kertas kusam kuno yang ternyata bekas penelitian papa saat masih menjadi anggota DSI. “Oei Hui Lan,”judulnya. Dasar alasan ingin tahu, kubawa kertas-kertas itu ke kamar setelah mencangking secangkir kopi buatanku. Kubaca perlahan, bertindak layaknya detektif professional. Sekilas kumelihat tanggal yang tertulis di pojok kanan atas kertas “3 Oktober 2005, tepat 3 hari setelah bom bali ke 2 dijatuhkan, dan hari yang sama ketika keluarga kami pindah ke Bali,” gumamku . “Jadi, ini adalah tugas penyelidikan terakir papa? Tapi, kenapa dibiarkan tergeletak begitu saja? Setahuku papa menyimpan semua file penyelidikannya di kantor pribadinya,” lanjutku. Rasa ingin tauku memuncak, terutama setelah melihat gambar sesosok wanita cantik berambut panjang di depan cermin yang tertempel pada lembar kedua kertas tersebut. Kunyalakan komputerku, dan mengetik “Oei Hui Lan.” Kursor berkedip lama sembari ku membaca riwayat wanita misterius itu. Rupanya Ia cukup terkenal di Indonesia, Ia adalah puteri dari Oei Tiong Ham, yang merupakan orang terkaya di Indonesia. Dan kisahnya meninggalkan misteri. Bahkan sampai lukisannya. “Hhm.. Rupanya itu yang sedang dicari tahu papa..”

Penelitian sederhanaku terhenti karena mataku mulai berontak. Tak sadar kutertidur di meja belajarku. Tiba-tiba kumendengar pintu kamarku menderit terbuka. Hendak memastikan, kulihat papa dengan kacamatanya dan pena yang tersangkut di daun telinganya. “Papa?,” kataku. “Ini dia!,” sambil menyaut seberkas kertas miliknya dari meja belajarku. “Apa yang kaulakukan dengan berkas penelitian papa?” katanya dengan nada meningkat. “Aku hanya ingin mencari tau, seperti papa,” jelasku. Spontan Ia memeluk putri satu-satunya ini. “Dengar, ini tugas yang rumit sayang,” “Tapi aku ingin membantu, Aku tak ingin menikmati liburan ini hanya dengan TV dan game. Aku ingin sesuatu yang lebih menantang,” selaku. “Tapi,,” belum menyelesaikan kalimatnya, aku menyela untuk kedua kali. “Papa, aku mohon. Aku takkan merepotkanmu. Lagipula, papa sudah tidak bekerja, aku ingin kita menyelesaikan kasus ini bersama,” jelasku sok bijak. Menyetujui renggekanku, papa menyuruhku untuk tidur. “Baik, kita akan mulai besok.’’

Pagi itu kubangun pagi-pagi, menagih janji papa. Betapa semangatnya aku ketika papa sudah menyiapkan 2 buah carrier 6o liter yang sudah terisi penuh. “Sudah siap?,” kata papa sembari menaikkan alisnya. “Tentu!,” teriakku. Mama? Kebetulan mama sedang lembur untuk seminggu kedepan. Jadi kami punya waktu banyak untuk melakukan penyelidikan pertamaku. Hari itu kami terbang ke malang, kota yang tak pernah kukunjungi. Ya, kami mencari sebuah lukisan Oei Hui Lan yang meninggalkan misteri tersebut. Kabarnya, lukisan itu terletak di sebuah hotel di jantung kota. Sambil membaca peta, kukenakan kacamata hitamku layaknya backpacker-backpacker biasanya. “Ini hotelnya!,” kata papa di depan gerbang putih bertuliskan “Hotel Tugu”. Kami masuk dan menyewa 1 kamar untuk menutupi misi rahasia kami. Dan benar, lukisan itu ada disana. Bulukudukku spontan berdiri. Sekilas kumenatap lukisan itu, namun ada sesuatu yang beda. Sesuatu yang takdapat kujelaskan. “Ayo kita istirahat dulu,” bisik papa di telinga kananku. 

Malam itu kami bertindak. Aku memancing petugas lobby hotel yang tepat di depan lukisan itu. Aku memintanya mengantarku kemana-mana. Ya, meskipun nilai teaterku 7, tapi kuberhasil membujuk petugas itu mengantarku berjalan-jalan. Sedangkan papa focus pada penyelidikan lukisan itu. Setengah jam kemudian kami bertemu di kamar. “Itu bukan lukisan yang asli,” kata papa murung. “Lalu dimana lukisan yang asli?”
Terpaksa kami bernjak dari hotel itu. Dalam berkas penelitian papa, lukisan asli tidak diketahui pelukisnya. “Berarti, ada yang melukis ulang, pa?” “Benar, dalam lukisan yang asli, terdapat inisial pelukis yang sampai sekarang belum diketahui. Dan pelukis itu mempunyai kode tempat disimpannya semua harta Oei Hui Lan setelah kemeninggalannya. Semua orang berebut lukisan itu,” jelasnya.  Kami melanjutkan perjalanan ke Museum Tempoe Doeloe untuk mencari tau lebih lanjut. Menurut ahli-ahli setempat, lukisan itu pernah dicuri tepat saat pendudukan Belanda di Indonesia. Lukisan itu dibawa oleh salah satu dari mereka untuk diperdagangkan di negerinya. Dan gosipnya, kapal yang membawa lukisan itu karam di Pulau Rinca, NTT, dan tak ada seorangpun yang berani menyelidikinya. “Yeah, petunjuk sudah kami dapatkan.” Hari itu juga kami terbang ke NTT. Pulau yang dianggap masih perawan itu tampak sepi. Hanya ada beberapa kapal nelayan.Karena tidak ada fasilitas kapal selam seperti di Bali, Papa memanfaatkan salah satu nelayan dan memintanya mengantar kami ke tengah laut. Meskipun awalnya ragu, namun akhirnya Ia menyetujui dengan beberapa lembar uang. Sesampai di batas laut, aku dan papa memakai perlengkapan diving dan turun menyelam. Ya, ini adalah pertama kali bagiku menyelam di laut bebas. Semakin dalam, kami berhasil menemukan sebuah kapal  kuno ukuran sedang yang sudah setengah tertimbun. Papa masuk dan menyuruhku menunggu di luar. 15 menit kumenunggu gelisah. Kuputuskan untuk mengikuti papa masuk. Tiba-tiba sesuatu melesat di depanku. Ya.. sesosok wanita itu..Wanita di lukisan itu. Oei Hui Lan.

 Hal terakir yang sempat kuliahat adalah jam tanganku menunjukkan pukul 11:29 sebelum wanita itu melilitkan rambutnya di mulutku. Sesaat kuterperanjat bangun, menyampluk secangkir kopi di meja belajarku, merasa lega bahwa itu hanya mimpi. Namun sesaat kumenengok jam alarmku yang menunjukkan pukul 11:28, seketika pintu kamarku menderit terbuka. Papa?,” kataku. “Ini dia!,” sambil menyaut seberkas kertas miliknya dari meja belajarku. “Apa yang kaulakukan dengan berkas penelitian papa?”

“Hahh? Akankan petualangan itu terjadi?..”

0 komentar:

Posting Komentar