Selasa, 23 September 2014

Oei Hui Lan, Akankah?





Stephany Susanto, itulah aku. Aku lahir dari pasangan Chinese-Indo di kota metropolitan, Jakarta. Papa, Fery Susanto adalah mantan anggota DSI (Detektif Swasta Indonesia). Sedangkan mama, Clarissa Tan berprofesi sebagai direktur sekaligus dokter Opstetri Ginokologi di Siloam Hospital, yang dipindahkan ke Bali 3 tahun lalu untuk membantu korban pada bom bali, 2005. Benar, sekarang kami menetap di Pulau Dewata ini. Hidup di Pulau kecil yang dikelilingi wisata air, terhindar dari macet, dan super bersih. Sungguh pulau impian! 

 Di rumah, aku lebih sering menghabiskan waktu dengan papa, yang sudah 3 tahun menjadi “bapak rumah tangga”. Tidak seperti anak lainnya, aku justru jarang bertemu mama karena pekerjaan yang menyita waktunya.


Malam itu kukenakan daster baliku. Kuberjalan menaiki anak tangga beralaskan sandal tidur dengan terkantuk-kantuk. Sangking ngantuknya, tak sengaja kumenyampar rak buku milik papa hingga buku-buku berjatuhan. Yahh.. dengan terpaksa kuharus menatanya lagi. “Tunggu,” kataku dalam hati. Mataku tertuju pada tumpukan kertas kusam kuno yang ternyata bekas penelitian papa saat masih menjadi anggota DSI. “Oei Hui Lan,”judulnya. Dasar alasan ingin tahu, kubawa kertas-kertas itu ke kamar setelah mencangking secangkir kopi buatanku. Kubaca perlahan, bertindak layaknya detektif professional. Sekilas kumelihat tanggal yang tertulis di pojok kanan atas kertas “3 Oktober 2005, tepat 3 hari setelah bom bali ke 2 dijatuhkan, dan hari yang sama ketika keluarga kami pindah ke Bali,” gumamku . “Jadi, ini adalah tugas penyelidikan terakir papa? Tapi, kenapa dibiarkan tergeletak begitu saja? Setahuku papa menyimpan semua file penyelidikannya di kantor pribadinya,” lanjutku. Rasa ingin tauku memuncak, terutama setelah melihat gambar sesosok wanita cantik berambut panjang di depan cermin yang tertempel pada lembar kedua kertas tersebut. Kunyalakan komputerku, dan mengetik “Oei Hui Lan.” Kursor berkedip lama sembari ku membaca riwayat wanita misterius itu. Rupanya Ia cukup terkenal di Indonesia, Ia adalah puteri dari Oei Tiong Ham, yang merupakan orang terkaya di Indonesia. Dan kisahnya meninggalkan misteri. Bahkan sampai lukisannya. “Hhm.. Rupanya itu yang sedang dicari tahu papa..”

Penelitian sederhanaku terhenti karena mataku mulai berontak. Tak sadar kutertidur di meja belajarku. Tiba-tiba kumendengar pintu kamarku menderit terbuka. Hendak memastikan, kulihat papa dengan kacamatanya dan pena yang tersangkut di daun telinganya. “Papa?,” kataku. “Ini dia!,” sambil menyaut seberkas kertas miliknya dari meja belajarku. “Apa yang kaulakukan dengan berkas penelitian papa?” katanya dengan nada meningkat. “Aku hanya ingin mencari tau, seperti papa,” jelasku. Spontan Ia memeluk putri satu-satunya ini. “Dengar, ini tugas yang rumit sayang,” “Tapi aku ingin membantu, Aku tak ingin menikmati liburan ini hanya dengan TV dan game. Aku ingin sesuatu yang lebih menantang,” selaku. “Tapi,,” belum menyelesaikan kalimatnya, aku menyela untuk kedua kali. “Papa, aku mohon. Aku takkan merepotkanmu. Lagipula, papa sudah tidak bekerja, aku ingin kita menyelesaikan kasus ini bersama,” jelasku sok bijak. Menyetujui renggekanku, papa menyuruhku untuk tidur. “Baik, kita akan mulai besok.’’

Pagi itu kubangun pagi-pagi, menagih janji papa. Betapa semangatnya aku ketika papa sudah menyiapkan 2 buah carrier 6o liter yang sudah terisi penuh. “Sudah siap?,” kata papa sembari menaikkan alisnya. “Tentu!,” teriakku. Mama? Kebetulan mama sedang lembur untuk seminggu kedepan. Jadi kami punya waktu banyak untuk melakukan penyelidikan pertamaku. Hari itu kami terbang ke malang, kota yang tak pernah kukunjungi. Ya, kami mencari sebuah lukisan Oei Hui Lan yang meninggalkan misteri tersebut. Kabarnya, lukisan itu terletak di sebuah hotel di jantung kota. Sambil membaca peta, kukenakan kacamata hitamku layaknya backpacker-backpacker biasanya. “Ini hotelnya!,” kata papa di depan gerbang putih bertuliskan “Hotel Tugu”. Kami masuk dan menyewa 1 kamar untuk menutupi misi rahasia kami. Dan benar, lukisan itu ada disana. Bulukudukku spontan berdiri. Sekilas kumenatap lukisan itu, namun ada sesuatu yang beda. Sesuatu yang takdapat kujelaskan. “Ayo kita istirahat dulu,” bisik papa di telinga kananku. 

Malam itu kami bertindak. Aku memancing petugas lobby hotel yang tepat di depan lukisan itu. Aku memintanya mengantarku kemana-mana. Ya, meskipun nilai teaterku 7, tapi kuberhasil membujuk petugas itu mengantarku berjalan-jalan. Sedangkan papa focus pada penyelidikan lukisan itu. Setengah jam kemudian kami bertemu di kamar. “Itu bukan lukisan yang asli,” kata papa murung. “Lalu dimana lukisan yang asli?”
Terpaksa kami bernjak dari hotel itu. Dalam berkas penelitian papa, lukisan asli tidak diketahui pelukisnya. “Berarti, ada yang melukis ulang, pa?” “Benar, dalam lukisan yang asli, terdapat inisial pelukis yang sampai sekarang belum diketahui. Dan pelukis itu mempunyai kode tempat disimpannya semua harta Oei Hui Lan setelah kemeninggalannya. Semua orang berebut lukisan itu,” jelasnya.  Kami melanjutkan perjalanan ke Museum Tempoe Doeloe untuk mencari tau lebih lanjut. Menurut ahli-ahli setempat, lukisan itu pernah dicuri tepat saat pendudukan Belanda di Indonesia. Lukisan itu dibawa oleh salah satu dari mereka untuk diperdagangkan di negerinya. Dan gosipnya, kapal yang membawa lukisan itu karam di Pulau Rinca, NTT, dan tak ada seorangpun yang berani menyelidikinya. “Yeah, petunjuk sudah kami dapatkan.” Hari itu juga kami terbang ke NTT. Pulau yang dianggap masih perawan itu tampak sepi. Hanya ada beberapa kapal nelayan.Karena tidak ada fasilitas kapal selam seperti di Bali, Papa memanfaatkan salah satu nelayan dan memintanya mengantar kami ke tengah laut. Meskipun awalnya ragu, namun akhirnya Ia menyetujui dengan beberapa lembar uang. Sesampai di batas laut, aku dan papa memakai perlengkapan diving dan turun menyelam. Ya, ini adalah pertama kali bagiku menyelam di laut bebas. Semakin dalam, kami berhasil menemukan sebuah kapal  kuno ukuran sedang yang sudah setengah tertimbun. Papa masuk dan menyuruhku menunggu di luar. 15 menit kumenunggu gelisah. Kuputuskan untuk mengikuti papa masuk. Tiba-tiba sesuatu melesat di depanku. Ya.. sesosok wanita itu..Wanita di lukisan itu. Oei Hui Lan.

 Hal terakir yang sempat kuliahat adalah jam tanganku menunjukkan pukul 11:29 sebelum wanita itu melilitkan rambutnya di mulutku. Sesaat kuterperanjat bangun, menyampluk secangkir kopi di meja belajarku, merasa lega bahwa itu hanya mimpi. Namun sesaat kumenengok jam alarmku yang menunjukkan pukul 11:28, seketika pintu kamarku menderit terbuka. Papa?,” kataku. “Ini dia!,” sambil menyaut seberkas kertas miliknya dari meja belajarku. “Apa yang kaulakukan dengan berkas penelitian papa?”

“Hahh? Akankan petualangan itu terjadi?..”

1 komentar:

  1. Keren idenya Ta.. Cuma font nya agak sulit dibaca.. Good job sweety..

    BalasHapus